Selasa, 15 Januari 2008

Citarum Tempo Doeloe

Melihat Sungai Citarum sekarang, saya suka bertanya-tanya, kira-kira seperti apa Citarum jaman dulu. Kalau mendengar cerita para orang tua yang tinggal di sisi Citarum, "nyoreang alam ka tukang", bahwa Gubernur Jendral, para Regent sering "lalayaran" atau bertamasya sungai menggunakan perahu, berburu buaya (apa iya dulu ada buaya yang hidup di Citarum), atau penduduk pribumi yang menggunakan sungai untuk mata pencaharian, sampai "mujasmedi" dan "pesugihan".

Saya lebih tertarik ingin tahu seperti apa kondisi biofisik, fungsi hidrologis nya, apakah vegetasinya masih sama, sepert apa banjirnya, dan apa kontribusi Citarum bagi mata pencaharian, kehidupan sosial, budaya, bahkan secara politis dan militer pada jaman dulu.
Tidak banyak data yang bisa dikumpulkan, diantaranya berupa catatan perjalanan dan foto2 (lukisan) para filantropis yang mengunjungi Jawa.

Dari catatan Forbes, Henry O. (Henry Ogg), A naturalist's wanderings in the Eastern archipelago; a narrative of travel and exploration from 1878 to 1883 Publication date: 1885, http://dlxs.library.cornell.edu/ . Melakukan perjalanan dari Batavia ke Priangan, sampai ke perkebunan Malabar Pangalengan.

Sebuah jembatan bambu melintang diatas Citarum (ditulisnya Tjitaroon), tidak ada keterangan lokasi. Tampak vegetasi sepanjang sempadan masih rimbun, saking panjangnya, tuan dan nyonya walanda dapat berfoto.






Seorang Tuan Belanda berdiri didepan Curug (Curug Jompong?), tidak ada keterangan lokasi. Perhatikan besarnya air terjun,


Sebuah lukisan mengambarkan penyeberangan sungai di waktu malam. Sampai tahun 80-an, penyebarangan seperti ini masish ada di sekitar Parunghalang, Bojongcitepus, Baleendah.

Gambar kejadian Banjir, tidak ada keterangan lokasi, kemungkinan di Dayeuh Kolot bila melihat bangunan (stasiun ?)


Ada juga data dari http://ccindex.kit.nl/, Tropen Museum Roya Tropical Institute, mengambarkan aliran curug diantara batuan.




Gambar lain dari Science and Scientists in the Netherlands IndiesEdited by Pieter Honig and Frans Verdoorn, Royal Nedtherlands Arts & Sciences Academy, http://www.knaw.nl, dalam Hydrodynamic Research in the Netherlands Indies by H. Vlugter, Mech. Eng. (Delft), Director, Hydrodynamical Laboratory, Bandoeng; translated by D. J. Struik, Ph.D., , Professor of Mathematics, Massachusetts Institute of Technology, Cambridge, Mass.; formerly, Special Lecturer, University of Utrecht menunjukan vegatasi di sisi Citarum. Tulisan tersebut memuat penelitian fungsi hidrologis beberapa sungai, danau di Jawa.



Masih ada beberapa lagi materi yang berkaitan dengan DAS Citarum, dari mulai wilayah Pangalengan, Sub DAS Cisangkuy, Cileunca sampai ke Bekasi dan Laut Jawa. Insya Allah dalam posting selanjutnya saya muat.










































Senin, 14 Januari 2008

Is this the world's most polluted river?


by RICHARD SHEARS - Last updated at 23:49pm on 5th June 2007

It was once a gently flowing river, where fishermen cast their nets, sea birds came to feed and natural beauty left visitors spellbound.
Villagers collected water for their simple homes and rice paddies thrived on its irrigation channels.
Today, the Citarum is a river in crisis, choked by the domestic waste of nine million people and thick with the cast-off from hundreds of factories.
So dense is the carpet of refuse that the tiny wooden fishing craft which float through it are the only clue to the presence of water.
Their occupants no longer try to fish. It is more profitable to forage for rubbish they can salvage and trade - plastic bottles, broken chair legs, rubber gloves - risking disease for one or two pounds a week if they are lucky.
On what was United Nations World Environment Day, the Citarum, near the Indonesian capital of Jakarta, displayed the shocking abuse that mankind has subjected it to.
'I said we shouldn't have scrapped weekly collections'
More than 500 factories, many of them producing textiles which require chemical treatment, line the banks of the 200-mile river, the largest waterway in West Java, spewing waste into the water.
On top of the chemicals go all the other kinds of human detritus from the factories and the people who work there.
There is no such luxury as a rubbish collection service here. Nor are there any modern toilet facilities. Everything goes into the river.
The filthy water is sucked into the rice paddies, while families risk their health by collecting it for drinking, cooking and washing.
Twenty years ago, this was a place of beauty, and the river still served its people well.
As one local man, Arifin, recalled: "Our wives did their washing there and our children swam."
Plastic rubbish has clogged up the waterway
Its demise began with rapid industrialisation during the late 1980s. The mighty Citarum soon became a garbage bin for the factories.
And the doomsday effect will spread. It is one of two major rivers that feed Lake Saguling, where the French have built the largest power generator in West Java.
Experts predict that as the river chokes, its volume will decrease and the generator will not function properly.
The area will be plunged into darkness.
But at least the factories will be stilled and their waste will stop flowing.
And perhaps the river will begin to breathe again.



Susahnya Mengurus Citarum

Oleh Mokhamad Ikhsan
Upaya pemerintah untuk mengelola DAS Citarum diharapkan dapat menekan besarnya laju erosi dan sedimentasi yang mengakibatkan pendangkalan sungai/waduk dan tingginya fluktuasi debit aliran sungai antara musim hujan dan kemarau. Dengan demikian secara hidrologis dapat mengurangi banjir dan kekeringan, serta dapat memberikan manfaat ekonomis, ekologis, sosial dan budaya bagi masyarakat tampaknya masih jauh panggang dari api.
Sejumlah projek yang telah dilaksanakan seperti pelurusan meander, penghijauan dan reboisasi lahan kritis, stabilisasi lahan, pengerukan, dan pengendalian pencemaran limbah tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Belum lagi rencana megaprojek pembuatan terowongan pengendali banjir hingga pemapasan Curug Jompong, yang dianggap akan berhasil memecahkan persoalan banjir di Bandung Selatan secara instan, malah menuai pro dan kontra, bahkan di kalangan pemerintah sendiri.
Padahal, bila dilihat dari skala pengendalian, panjang Citarum kurang lebih 269 km, membentang dari mulai area Gunung Wayang meliputi Kertasari, Pangalengan, di Bandung Selatan, Kabupaten Bandung pada bagian hulu sampai Pantai Muaragembong Kabupaten Bekasi di bagian hilir. Luas DAS 6.614 km persegi, dengan jumlah penduduk sekitar 12,245 juta jiwa. Tidak terlalu rumit bila dibandingkan dengan sungai-sungai di luar Pulau Jawa. Jadi apa yang menyebabkan pengelolaan Citarum karut marut?
Masalah di hulu
Biasanya yang jadi tertuduh bila banjir tiba adalah para petani dataran tinggi, yang berada di hulu Citarum. Yang menanam kentang, kubis, tomat, wortel di seputar hutan wilayah Pangalengan, Kertasari, Cilengkrang dengan pola tanaman semusim tanpa mengindahkan kaidah konservasi lahan. Akan tetapi, masalahnya tidak sesederhana itu.
Jika diteliti lebih jauh bahwa di belakang petani tersebut ada kekuatan bisnis yang menggerakkannya. Ada perusahaan pestisida multinasional, industri pengolahan makanan, importir bibit, mayur, dan tengkulak skala ekspor. Mereka secara langsung atau tidak langsung membuat petani untuk merambah dengan memberi modal, bibit, pupuk, pestisida dalam jumlah besar.
Memaksa mereka turun dari hutan tanpa memberikan jalan keluarnya jelas tidak adil. Pola PHBM antara Desa di pinggir hutan dan pihak pemangku hutan hanya sedikit memberi kontribusi, mengingat jumlah perambah yang banyak serta keterbatasan daya serap program kehutanan. Ada alternatif lain yaitu hak garap lahan di tanah negara yang kebanyakan dikuasai perkebunan. Masalahnya adalah bagaimana ada kesepakatan antara pemerintah daerah, Perhutani, dan PTP dalam memberi konsesi lahan bagi petani.
Masalah di hilir
Masalah di wilayah tengah mulai dari Rancaekek, Majalaya, Dayeuhkolot, Bojongsoang, Margaasih, Leuwigajah adalah penataan pemanfaatan ruang yang berdesak-desakan antara pemukiman-industri-pertanian lahan basah. Ini disebabkan lemahnya penegakan hukum lingkungan dan tata ruang serta tidak adanya koordinasi antar sektor-dinas-lembaga dalam bidang pemanfaatan ruang dari sisi pengawasan dan pengendalian ruang di sepanjang DAS Citarum.
Pelanggaran tata ruang sama parahnya dengan pelanggaran lingkungan di sepanjang DAS. Masalah yang muncul adalah banjir yang tiap tahun skalanya makin besar. Rebutan air antara pabrik, pemukiman, dan sawah pada musim kemarau. Pada musim hujan pabrik dengan ringan dan riang menggelontorkan limbahnya ke sungai maupun anak sungai yang sebagian masuk ke sawah-sawah, kolam ikan, bahkan rumah penduduk ketika banjir.
Masalah kelembagaan
Ego sektoral, tumpang tindih, dan inkonsisten adalah ciri lembaga yang berwenang dan bertanggung jawab dalam pengelolaan DAS Citarum. Sebut saja bagaimana membagi peran antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota yang selama karut-marut. Ketika Citarum ditetapkan sebagai sungai strategis nasional, apa perangkat peraturan yang harus dijadikan acuan pemerintah daerah yang dialiri DAS Citarum dalam menetapkan pola pemanfaatan ruang di sekitar DAS?
Harusnya badan koordinasi wilayah sungai seperti Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) dapat menjadi moderator semacam forum koordinasi DAS dalam menjembatani kesemrawutan koordinasi, atau menjadi badan otorita pengelola DAS yang mempunyai kewenangan antarwilayah administratif . Yang terjadi justru sejumlah instansi yang terlibat saling menuduh, saling lepas tanggung jawab. Pola pikir pemerintah yang demikian seakan menegaskan penilaian dalam setiap tahapan pengelolaan DAS Citarum dari mulai perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasinya berjalan sendiri-sendiri dan demi kepentingan sendiri-sendiri.
Pengelolaan DAS harus ditempatkan sebagai aktivitas yang berdimensi biofisik meliputi, pengendalian erosi, pencegahan dan penanggulangan lahan-lahan kritis, dan pengelolaan kegiatan budi daya.
Bandung adalah gudang ahli pakar, akademisi, dan praktisi lingkungan hidup. Bahkan, ada forum dan dewan pakar yang khusus mengamati lingkungan, ada komunitas ahli yang khusus meneliti Citarum. Ratusan NGO/ lembaga konservasi yang meng-advokasi lingkungan. Belum lagi program-program dan komisi-komisi penyelamatan DAS seperti prokasih (program kali bersih), Citarum Bergetar, Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis, penanaman sejuta pohon, dan banyak lagi. Masyarakat pun diberi pelatihan dan bimbingan sadar lingkungan, dari mulai petani, pelajar sampai manajer pabrik tekstil. Penguatan kelembagaan kelompok-kelompok tani hutan yang ada di desa-desa sekitar hutan di hulu sungai, serta kelompok mitra cai pemanfaat jaringan air irigasi. Jadi apa susahnya mengurus Citarum?
(Penulis, Anggota Komisi C DPRD Kab. Bandung, tinggal di sisi Citarum) ***
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/112007/19/selisik/lainnya01.htm

All About Citarum...



Panjang Citarum kurang lebih 269 km, membentang dari mulai area Gunung Wayang meliputi Kertasari, Pangalengan, di Bandung Selatan, Kabupaten Bandung pada bagian hulu sampai Pantai Muaragembong Kabupaten Bekasi di bagian hilir. Luas DAS 6.614 km persegi, dengan jumlah penduduk sekitar 12,245 juta jiwa


Daerah aliran sungai (DAS) Citarum Hulu secara administratif terdiri dari Kabupaten Bandung, Sumedang, Kota Bandung, dan Cimahi; mempunyai luas sekitar 2.340,88 Km'- jumlah penduduk 5,7 juta jiwa di tahun 2001, dan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 3,23%. Pada DAS Citarum Hulu mengalir sungai utama yaitu Citarum yang merupakan sumber air bagi tiga waduk dengan volume total 6.147 juta m3.


Air dari ke tiga waduk dipergunakan untuk berbagai keperluan, seperti sumber air minum, pertanian, perikanan, irigasi, serta pembangkit tenaga listrik bagi pulau Jawa dan Bali. Pada saat ini DAS Citarum Hulu tengah mengalami kerusakan yang sangat kompleks, sehingga untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu solusi yang komprehensif dan terintegrasi.


Di hilir pun sama saja, malah makin parah dengan kesemrawutan penatagunaan lahan terbangun serta laju alih fungsi lahan yang sangat masif. Pabrik tekstil berdesak desakan dengan pemukiman seperti berebut sepetak lahan di sepanjang bantaran citarum agar gampang menggelontorkan limbah.


BLOG ini selanjutnya akan terus memuat cerita mengenai Citarum sehari-hari yang kami alami, merupakan sumber kehidupan sekaligus ciri kami membangun peradaban. Prung ah !!

Minggu, 13 Januari 2008

Hari ini Bang Arul 7 Tahun!!!

Dering telepon di pagi hari membuat kami semua terbangun. Sudah pukul 07.30 memang. Tapi karena ini hari Minggu, sah dong bila ingin lebih lama menikmati empuknya peraduan. Belum sempat Ibuk membuka pintu kamar, suara Bang Arul terdengar di ujung sana menerima telepon,"Hallo, siapa ini?", sapaan khasnya saat menerima telepon bahkan juga saat menghubungi telepon orang lain (!). Selanjutnya yang terdengar hanya jawaban iya, eeh, ohh, nanti dan jawaban singkat lainnya. Tak lama kemudian "Ibuk..ini nenek," teriaknya. Ternyata Nenek pagi-pagi telepon untuk mengucapkan selamat ulang tahun untuk Abang.
tanggal 13 Januari 2008. Hari ini Abang genap berusia 7 tahun dengan berat badan 35 kilogram. Abah dan Ibuk memberi ucapan selamat. Teteh menolak melakukan hal yang sama. "Teteh kan juga ulang tahun," katanya sambil merajuk. Iya deh...
abang tidak punya permintaan khusus hari ini. Ibuk menawarkan gitar tapi Abang tidak begitu antusias. Abah menawarkan rollerblade, Abang juga menanggapi biasa saja. Nyaris tidak ada sesuatu yang istimewa di hari ulang tahun Abang. Agak siang Makcik Beni telepon menyampaikan ucapan sama sambil membujuknya pulang kampung (enak aja.. kalo dimodalin sih oke!!.
Suasana 'biasa saja' di hari ulang tahun ini memang disengaja. Hari kelahiran kudu diingat. Ke depannya jika lebih dewasa sifatnya lebih kontemplatif. Tapi untuk sekarang diusahakan tidak merayakannya agar tidak menjadi kebiasaan. Perkara akan makan kue tart atao menghadirkan ornamen lain sekedar ekspresi suka cita dan syukur, bisa di hari lain. Nggak harus pas hari 'H'.
Satu yang patut disyukuri, di ulang tahunnya ke 7 ini, Abang sudah hapal bacaan sholat. 100% fasih sih belum..tinggal dilurus-lusurskan saja. Gerakannya juga belum sempurna betul. Tapi so far, sudah Alhamdulillah.