Oleh Mokhamad Ikhsan
Upaya pemerintah untuk mengelola DAS Citarum diharapkan dapat menekan besarnya laju erosi dan sedimentasi yang mengakibatkan pendangkalan sungai/waduk dan tingginya fluktuasi debit aliran sungai antara musim hujan dan kemarau. Dengan demikian secara hidrologis dapat mengurangi banjir dan kekeringan, serta dapat memberikan manfaat ekonomis, ekologis, sosial dan budaya bagi masyarakat tampaknya masih jauh panggang dari api.
Sejumlah projek yang telah dilaksanakan seperti pelurusan meander, penghijauan dan reboisasi lahan kritis, stabilisasi lahan, pengerukan, dan pengendalian pencemaran limbah tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Belum lagi rencana megaprojek pembuatan terowongan pengendali banjir hingga pemapasan Curug Jompong, yang dianggap akan berhasil memecahkan persoalan banjir di Bandung Selatan secara instan, malah menuai pro dan kontra, bahkan di kalangan pemerintah sendiri.
Padahal, bila dilihat dari skala pengendalian, panjang Citarum kurang lebih 269 km, membentang dari mulai area Gunung Wayang meliputi Kertasari, Pangalengan, di Bandung Selatan, Kabupaten Bandung pada bagian hulu sampai Pantai Muaragembong Kabupaten Bekasi di bagian hilir. Luas DAS 6.614 km persegi, dengan jumlah penduduk sekitar 12,245 juta jiwa. Tidak terlalu rumit bila dibandingkan dengan sungai-sungai di luar Pulau Jawa. Jadi apa yang menyebabkan pengelolaan Citarum karut marut?
Masalah di hulu
Biasanya yang jadi tertuduh bila banjir tiba adalah para petani dataran tinggi, yang berada di hulu Citarum. Yang menanam kentang, kubis, tomat, wortel di seputar hutan wilayah Pangalengan, Kertasari, Cilengkrang dengan pola tanaman semusim tanpa mengindahkan kaidah konservasi lahan. Akan tetapi, masalahnya tidak sesederhana itu.
Jika diteliti lebih jauh bahwa di belakang petani tersebut ada kekuatan bisnis yang menggerakkannya. Ada perusahaan pestisida multinasional, industri pengolahan makanan, importir bibit, mayur, dan tengkulak skala ekspor. Mereka secara langsung atau tidak langsung membuat petani untuk merambah dengan memberi modal, bibit, pupuk, pestisida dalam jumlah besar.
Memaksa mereka turun dari hutan tanpa memberikan jalan keluarnya jelas tidak adil. Pola PHBM antara Desa di pinggir hutan dan pihak pemangku hutan hanya sedikit memberi kontribusi, mengingat jumlah perambah yang banyak serta keterbatasan daya serap program kehutanan. Ada alternatif lain yaitu hak garap lahan di tanah negara yang kebanyakan dikuasai perkebunan. Masalahnya adalah bagaimana ada kesepakatan antara pemerintah daerah, Perhutani, dan PTP dalam memberi konsesi lahan bagi petani.
Masalah di hilir
Masalah di wilayah tengah mulai dari Rancaekek, Majalaya, Dayeuhkolot, Bojongsoang, Margaasih, Leuwigajah adalah penataan pemanfaatan ruang yang berdesak-desakan antara pemukiman-industri-pertanian lahan basah. Ini disebabkan lemahnya penegakan hukum lingkungan dan tata ruang serta tidak adanya koordinasi antar sektor-dinas-lembaga dalam bidang pemanfaatan ruang dari sisi pengawasan dan pengendalian ruang di sepanjang DAS Citarum.
Pelanggaran tata ruang sama parahnya dengan pelanggaran lingkungan di sepanjang DAS. Masalah yang muncul adalah banjir yang tiap tahun skalanya makin besar. Rebutan air antara pabrik, pemukiman, dan sawah pada musim kemarau. Pada musim hujan pabrik dengan ringan dan riang menggelontorkan limbahnya ke sungai maupun anak sungai yang sebagian masuk ke sawah-sawah, kolam ikan, bahkan rumah penduduk ketika banjir.
Masalah kelembagaan
Ego sektoral, tumpang tindih, dan inkonsisten adalah ciri lembaga yang berwenang dan bertanggung jawab dalam pengelolaan DAS Citarum. Sebut saja bagaimana membagi peran antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota yang selama karut-marut. Ketika Citarum ditetapkan sebagai sungai strategis nasional, apa perangkat peraturan yang harus dijadikan acuan pemerintah daerah yang dialiri DAS Citarum dalam menetapkan pola pemanfaatan ruang di sekitar DAS?
Harusnya badan koordinasi wilayah sungai seperti Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) dapat menjadi moderator semacam forum koordinasi DAS dalam menjembatani kesemrawutan koordinasi, atau menjadi badan otorita pengelola DAS yang mempunyai kewenangan antarwilayah administratif . Yang terjadi justru sejumlah instansi yang terlibat saling menuduh, saling lepas tanggung jawab. Pola pikir pemerintah yang demikian seakan menegaskan penilaian dalam setiap tahapan pengelolaan DAS Citarum dari mulai perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasinya berjalan sendiri-sendiri dan demi kepentingan sendiri-sendiri.
Pengelolaan DAS harus ditempatkan sebagai aktivitas yang berdimensi biofisik meliputi, pengendalian erosi, pencegahan dan penanggulangan lahan-lahan kritis, dan pengelolaan kegiatan budi daya.
Bandung adalah gudang ahli pakar, akademisi, dan praktisi lingkungan hidup. Bahkan, ada forum dan dewan pakar yang khusus mengamati lingkungan, ada komunitas ahli yang khusus meneliti Citarum. Ratusan NGO/ lembaga konservasi yang meng-advokasi lingkungan. Belum lagi program-program dan komisi-komisi penyelamatan DAS seperti prokasih (program kali bersih), Citarum Bergetar, Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis, penanaman sejuta pohon, dan banyak lagi. Masyarakat pun diberi pelatihan dan bimbingan sadar lingkungan, dari mulai petani, pelajar sampai manajer pabrik tekstil. Penguatan kelembagaan kelompok-kelompok tani hutan yang ada di desa-desa sekitar hutan di hulu sungai, serta kelompok mitra cai pemanfaat jaringan air irigasi. Jadi apa susahnya mengurus Citarum?
(Penulis, Anggota Komisi C DPRD Kab. Bandung, tinggal di sisi Citarum) ***
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/112007/19/selisik/lainnya01.htm
Senin, 14 Januari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Bapak benar, betapa rumitnya mengurus citarum karena sudah terakumulasi puluhan bahkan ratusan tahun, tapi bukan berarti tidak bisa, pasti bisa, tetapi "menurut saya" konsistensi adalah salah satu jawaban jitu. Tidak sepotong-sepotong, tidak juga jangka pendek.
Mulai dari hal yang mudah tapi berjalan konsisten. Saya siap gabung jika diperlukan sesuatu tentang mengelola citarum. Salam hormat.yoyobudiman@gmail.com
http://www.yoyobudiman-konservasi.blogspot.com/
Posting Komentar